Quote:

Apa yang sudah ada di tangan, jangan sampai dilepas. Tekuni saja, pasti berhasil. - Gudeg Yu Djum -

Selasa, 31 Mei 2011

Nyanyian Kematian (Oleh Bung Choirul Rahmat)


“Pak, hati-hati! Di luar hujan deras?!”
Putri sulung Pak Ndut cemas pada ayahnya. Pak Ndut mengangguk, ia pun sebenarnya ngeri mendengar gaduh amukan angin ganas dan sambaran petir menjadi satu menyanyikan lagu kematian di luar sana.
“InsyaAllah, Nak. Innallaha ma’ana, Allah selalu bersama Bapak.”
Di dekapnya mushaf hitam dengan tangan kanan, sedang tangn kirinya menggenggam payung yang masih terkatup.
“Kamu jangan cemas, Naima. Tidak ada yang bisa menghentikan kehendak Allah.” Ucap Pak Ndut kepada istrinya. Naima mengangguk. Meski sebenarnya, ia tak begitu ridho suaminya melangkah pergi.
“Ini adalah kesempatanku, bisa melangkah dengan tenang tanpa rasa cemas diikuti begundal-begundal itu.” Pak Ndut coba meyakinkan kembali istrinya.
“Tapi di luar hujan deras. Apa tidak ada yang menjemput Bapak?” Tanya putri sulung Pak Ndut yang masih belum tenang.

“Bapak yang minta agar tidak dijemput, Nak. Lagipula pengajiannya hanya di Desa Kendeng, tidak terlalu jauh dari rumah kita.”
“Kalau begitu izinkan Guntur mengantar sampai sungai Deres, Pak.” Sambil menyerahkan senter, putra bungsu Pak Ndut yang sedari tadi hanya diam, akhirnya ikut bicara. Tidak tega melihat ayahnya harus pergi sendirian di tengah badai hujan seperti ini.
Naima mengangguk setuju.
“Jangan, Nak. Nanti kamu sakit.” Bapak tidak mengizinkan.
Guntur terdiam. Tampak menikmati usapan tangan sayang sang ayah. Wajah khawatir tergambar jelas di raut wajah Guntur. Wajah polos itu menerawang sungai Deres yang terkenal kejam oleh warga gunung Kijang. Terlebih saat hujan turun, sungai Deres seolah menjelma menjadi iblis kelaparan yang siap menerkam siapa saja yang melintas, tanpa pandang bulu. Debitnya yang garang, arusnya yang jahannam, bahkan tubuhnya yang panjang, terjal, dan curam. Batu batu hitam laksana gigi-gigi iblis yang siap merobek tubuh manusia yang mendekatinya.
Kreeeek…
CETAAAAAARRRR……….!!!!!
Ucapan ‘selamat datang’ halilintar mengagetkan Pak Ndut, sesaat pintu dibuka.
“Subhanallah…”
Baru selangkah kakinya keluar rumah, tiba-tiba…
“Bapak!!”
Langkahnya terhenti, ia menoleh ke belakang. Guntur kecil yang perkasa menatap ayahnya dengan penuh kecemasan. Sedang Naima dan putri sulungnya tampak berdiri di muka pintu. Pak Ndut tersenyum menegarkan, terlebih pada istrinya yang sejak lahir tuna wicara. Naima balas tersenyum. Pak Ndut mencoba mennyampaikan kata cinta lewat senyum dan tatapan matanya. Hanya orang orang yang tulus mencintai karena Allah, yang mengerti bahasa itu. Seperti Pak Ndut mencintai kekurangan istrinya.
 “Guntur, tolong jaga Ibu dan Mbakmu ya. Bapak berangkat dulu, assalamu’alaikum!!”
“Iya, Pak. Guntur akan jaga Ibu dan Mbak dengan baik. Percaya sama Guntur. Wa’alaikumsalam.” Balas Guntur sambil tersenyum meyakinkan, tertawa ringan.
Tawa kecil Guntur membuat Pak Ndut lega. Kini Pak Ndut bersiap melangkah meninggalkan rumah anyaman bambunya. Sebuah gubuk tua peninggalan almarhum kakeknya Guntur.
***
Pak Ndut harus menelusuri jalan setapak licin, curam, dan terjal. Dengan hanya bermodalkan cahaya redup dari senter tua bertuliskan “Tiger”, Pak Ndut terus melangkah. Ia turuni gunung kijang dengan penuh harap-harap cemas. Bergidik ngeri jika halilintar-halilintar itu menyambar pepohonan besar di sekelilingnya. Deru angin yang menderu-deru, seolah membawa kabar buruk untuk dirinya.
Tujuan Pak Ndut adalah masjid kecil di seberang sungai Deres. Ia akan menghadiri pengajian Kyai Luqman. Untuk mencapai masjid itu, Pak Ndut harus menyeberangi sungai besar yang terjal dan penuh bebatuan. Sialnya, malam ini hujan. Batu batu yang menghitam itu pasti licin. Selain berlumut, batu itu juga tajam. Terpaksa Pak Ndut menyeberangi sungai tanpa jembatan. Jembatan gantung yang dibangun warga putus diterjang arus sungai. Berkali-kali Pak Ndut mencari bagian sungai yang dangkal. Setelah merasa menemukan jalurnya, Pak Ndut mulai menyeberang.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim.”
Pak Ndut melangkah. Sarung kotak-kotaknya ia singkap tinggi-tinggi. Gemuruh arus air yang mengerikan membuat bulu kuduk Pak Ndut merinding. Air menyentuh mata kaki Pak Ndut.
Brrrrrrrr…
Dingin sekali rasanya. Pak ndut melangkah dengan hati-hati. Namun tiba-tiba…
Sreeeeet
Ugh…
Byuuurrrrr………!!!
***
“Bapaaaaaaaaaakkk !!”
Tiba-tiba Guntur berteriak. Teriakannya sontak membuat putri sulung dan istri Pak Ndut kaget.
“Ada apa, Dek?” Tanya Wulan sedikit cemas.
“Guntur kangen Bapak, Mbak.”
“Bapak kan lagi pengajian sama Kyai Luqman.”
“Tapi Guntur kangen, Mbak.”
Sentuhan hangat sang Ibu menenangkan putranya, ia isyaratkan dengan menengadahkan tangan ke atas pada putranya. Guntur mengangguk.
***
“Allahu akbar!!!”
Pak ndut berteriak sekeras-kerasnya. Ia pasrah dengan keadaan. Arus sungai Deres menggelandang tubuh besar Pak Ndut entah kemana. Cengkeraman arus sungai Deres terlalu  kekar untuk Pak Ndut. Bagaimana pun ia berkelit, tetap saja Pak Ndut tak berdaya.
“Ya Allah, Engkau yang Maha Kuasa. Andaikan ini akhir hidupku, aku mohon jadikan aku syahid di jalan-Mu. Namun jika Engkau belum menghendaki, selamatkanlah aku ya Rabb!!!”
Perang batin bergelut hebat dalam jiwa Pak Ndut. Bayang-bayang kematian seolah-olah sangat dekat dengan pelupuk matanya. Arus sungai terus mengombang-ambingkan tubuh Pak Ndut. Payung dan senternya melesat entah ke mana. Namun tangan Pak Ndut masih erat mendekap mushafnya. Ia pun memejamkan matanya. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Tiba-tiba matanya berkunang-kunang, samar ia melihat sesosok putih bersinar terang menantinya di atas batu besar di depannya.
”Benarkan aku akan mati ya Allah? Jika iya, ku titipkan anak dan istriku pada-Mu.”
Air mata Pak Ndut tak kalah derasnya dengan aliran sungai Deres. Adrenalinnya membuncah. Batu-batu tajam terlihat menganga di depannya, ia pejamkan matanya rapat-rapat. Pikirannya melayang tak menentu. Tentang tangis anaknya, keranda, orang banyak, dan siksa kubur. Bayang-bayang putih itu semakin terlihat jelas. Batu besar siap melahap tubuh Pak Ndut yang sudah letih dan pasrah.
ALLAHU AKBAR...!!!! ALLAHU AKBAR…!!! ALLAHU AKBAR…!!!!
Pak Ndut terbangun dari tidurnya. Tubuhnya basah oleh keringat dingin. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Ternyata ia ada di kamar. Istrinya tampak begitu khawatir melihat suaminya. Berkali-kali ia mengelap keringat dingin suaminya. Sayup-sayup terdengar suara adzan Subuh berkumandng dari masjid seberang sungai. Gemericik hujan mulai mereda.
“Alhamdulillah ya Allah, ternyata hanya mimpi.” Ucap Pak Ndut lega. Ia lapalkan do’a lalu seperti meludah ke kiri. “Terimakasih, Bu.”
Istri Pak Ndut tersenyum meski gurat khawatir terlihat jelas di wajahnya.
“Aku tidak apa-apa.” Pak Ndut pun mengeecup kening istrinya.
“Bu, tolong bangunkan Wulan dan Guntur. Kita sholat Subuh berjamah di rumah ya.” Pinta Pak Ndut.
Istri Pak Ndut mengangguk. Bergegas bangkit membangunkan anak-anak mereka.
“Terimakasih ya Allah. Terimakasih atas teguran-Mu.” Gumam Pak Ndut dalam hati.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar