Quote:

Apa yang sudah ada di tangan, jangan sampai dilepas. Tekuni saja, pasti berhasil. - Gudeg Yu Djum -

Minggu, 05 Juni 2011

ALADIN SANG PETUALANG (Edisi Cerita “Alay” WR 05) Oleh Bung Ali

Betapa girangnya Aladin, ketika sampai pada sebuah perkampungan menemukan sebuah kedai.

Kruiiiik, kruiiiik, ….

Perutnya yang kosong kembali berbunyi. Dielusnya perut yang sedikit buncit itu. Dia pun segera beranjak mendekat ke arah kedei itu. Sekilas dia melihat ke  sebuah plang yang terpang-pang di depan kedai “Kedei Nona Anung D’Lista Bisikan Cinta Tempe Diskon 30 %.”

“Permisi!”

“Permisi, adakah orang di dalam, Aladin mau masuk?”

Belum ada sahutan dari si pemilik kedai. Maka di ulangi lagi sapaanya.

“Permisi!” Dia pun setengah berteriak.

“Silahkan masuk Bung! Maaf tadi saya kurang dengar, soalnya lagi di dapur menyiapkan menu,” sahut seorang wanita cantik, yang dengan tergopoh keluar dari dalam.

Aladin pun benar-benar dibuat terkesiap. Dengan mata yang tak berkedip dipandanginya wanita di depannya itu. Dari bawah ke atas, dari atas ke bawah lagi. Dia benar-benar berdecak kagum. Tak menyangka di perkampungan seperti ini ada bidadari secantik itu. Rambut panjang berurai, dengan anatomi tubuh yang proporsioanal, serta senyuman yang tersungging di sudut bibirnya.


“Silahkan masuk, Bung!” si pemilik kedai menyapa Aladin yang tengah bengong itu.

“E … eh, iya.” Dengan sedikit tergagap Aladin menjawabnya. Dan segera tergopoh masuk ke dalam.

Aladin duduk pada sebauh bangku yang kosong di sudut kedai.

“Apakah, menu paling terspesial untuk sarapan di Kedai ini?”

“Lontong sayur dan mendoan tempennya, Bubur ayam, wedang Jahe, Teh manis hangat, Bajigur susu, dan masih banyak lainya,” tukas si pemilik kedai.

“Tapi ada passwordnya untuk bisa memesan menu di kedai saya ini.” ucap pemilik kedai lagi.

Password?”

“Iya, semacam kata kunci.”

“Semacam kata kunci?”

“Iya!”

Aladin pun bingung dan garuk-garuk kepala, yang padahal kepalannya tidak gatal itu. Dia merasa ada yang aneh dengan pemilik kedai ini. Namun perutnya terus memberi kabar berupa bunyi dan rasa teremas-remas.

“Kalau begitu, apa passwordnya?” Aladin bertanya.

“Bung, harus menuliskan ungkapan cinta dalam kertas ini, minimal satu paragraf.”

“Kalau tidak bisa, bagaimana? Saya bukan pujangga, saya juga bukan orang romantis.”

“Kalau begitu Bung tidak bisa pesan apapun di kedai saya ini.”

Aladin semakin bingung saja dengan apa yang di ucapkan pemilik kedai itu. Akhirnya diberanjak pergi dari kedai itu dengan perasan kecewa. Dan perut yang masih kosong.

“Dasar Alay!” gerutunya setengah kedengaran.

“Apa kau bilang!” teriak pemilik kedai marah.

“Ngak, apa-apa Bu, aku salah berkata.” Dengan terbata Aladin mencoba ngeles.

“Panggil aku, Nona!”

“Nona?”

Sebelum mendapat omelan lebih lanjut akhirnya Aladin, memutuskan cepat-cepat meninggalkan kedai dan pemiliknya itu.


***

Aladin kembali berjalan terseok sambil berharap akan menemui kedai atau warung makan di kampung itu. Dan dia melewati kebun semangka, dan melihat beberapa warga yang tengah merawat kebunnya itu.

“Permisi Pak, permisi Bu,” sapannya seraya menganggukan kepala.

“Apakah, Bung orang asing di sini?” orang yang di Tanya malah balik bertannya.

“Iya, namaku Aladin. Aku suka berpetualang.”

“Oooo, makanya Bung belum tau cara memanggil kami. Kampung kita warga yang laki-laki sebelum namanya di panggil Bung, sedangkan yang wanitannya di panggil Nona,” terang salah satu warga. Dengan gamblang.

Aladin pun semakin bingung dan garuk-garuk kepala lagi. Setelah menanyakan di manakah ada kedai yang buka, Aladin segera beranjak pergi menuju kesalah satu kedai yang di sebutkan warga tersebut. Dari kedai berikutnya ini didepan kedai tertulis “Kedai Bung Riyan Raditya Mengelola Konflik”. Sebenarnya Aladin mulai curiga dengan kalimat di depan kedai itu. Namun rasa lapar dan haus membuatnya terus melangkahkan kakinya itu.

“Semanggi Bung, adakah yang bisa saya Bantu?” sapa pemuda gagah pemilik kedai.

Semanggi? Sebuah pertanyaan kontan terselip dalam dirinnya meski tidak dia ucapkan.

“Apakah menu kedai, ini adakah yang bisa aku pesan Mas, eh Bung?”

“Ada es kelapa muda, bakso malang special, siomay bandung, teh hangat dan lain-lain,” terang pemilik kedai yang gagah itu.

“Tapi ada passwordnya agar Bung bisa memesan di kedaiku ini.”

Password, semacam kata kunci?” Aladin menatap penuh harap ke arah pemuda gagah di depannya itu.

“Iya betul, Bung harus menuliskan opini bung tentang bagaimana mengelola konflik dalam sebuah cerita.”

“Oooo.”

Aladin melongo bin melompong.

“Dasar sinting!” begitu gerutunya.

Pemuda pemilik kedai itu langsung melotot kearah Aladin. Dan Aladin segera beranjak cepat meninggalkan kedai dan pemiliknya itu, sebelum kena marah.

***

Aladin pun mencoba untuk keliling kampung itu, dan tak satu pun kedai yang dia bisa pesan menunya. Dia begitu sangat geram dan memutuskan untuk keluar dari kampung itu. Dan sampailah dia di tepi kampung. Di sebuah kebun semangka yang bukan kebun semangka sebelumnya. Di situ juga banyak warga yang tengah bekerja di kebun semangka. Namun Aladin ogah menyapannya. Bahkan pohon semangka yang baru tumbuh sengaja di injak-injaknya. Kontan dia langsung mendapat teguran dari warga yang ada disitu.

“Hei Bung, Jangan kau injak-injak pohon semangka kami!”

“Dasar kumpulan orang-orang Autis!” Begitu gerutu Aladin. Kali ini nyaris tak terdengar oleh warga.

Aladin tak memperdulikan teguran itu, dia malah seolah-olah tidak mendengarkannya dengan terus menginjak-injak pohon semangka milik warga di situ.

“Hai Bung, dengan menginjak pohon semangka kami berarti Bung telah menantang kami!!”

Teriakan kali ini lebih keras dia dengar. Lalu dia pun menengok ke arah sumber suara itu. Di lihatnya beberapa warga mengacung-ngacungkan parang dan paculnya. Kontan Aladin pun menjadi panik. Dan cepat-cepat lari meninggalkan warga-warga itu. Namun sial, tanah yang agak licin membuat dia terpeleset dan jatuh ketempat perairan di kebun itu.

Byuuur!

Dan kontan semua warga yang menyaksikan hal itu berteriak.

Horeeeeeeeee!!!

***

Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh. Aladin pun menggeliat dari tidurnya. Napasnya masih terasa berantakan. Diusapnya keringat yang membasahi keningnya. Dia masih bingung dengan apa yang dialami barusan. Yang ternyata hanyalah mimpi itu.

“Bung, Nona, kedai, semangka?” begitu desisnya.

Dia garuk-garuk kepala seperti dalam mimpinya. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba menelisik kedalam dirinya. Tentang mimpinya barusan itu, tentang orang-orang kampung yang dalam mimpinya dia anggap orang-orang Autis itu.

***

Kelak pada suatu mimpi yang lain. Aladin Sang Petualang itu, akan menjadi salah satu penulis hebat seperti orang-orang yang di anggap Autis dalam mimpinya itu.

(bersambung di edisi berikutnya)



Jakarta, 03 Juni 2011


  • NB: Cerita ini hanyalah fiktif belaka, maaf bila ada kesamaan nama dan peristiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar