Quote:

Apa yang sudah ada di tangan, jangan sampai dilepas. Tekuni saja, pasti berhasil. - Gudeg Yu Djum -

Kamis, 16 Juni 2011

Media Maping (Oleh Bung Ali Musafa)

Bung dan Nona, obrolan kali ini sedikit menyangkut Media Maping. Okelah, nggak usah panjang-panjang pembukaannya. Langsung saja masuk ke persoalan.
Ada pertanyaan yang cukup menarik dari peserta kelas menulis FLP DKI Jakarta. Yang waktu itu pembicarannya adalah Mas Taufan E. Prast, ketua FLP  Jakarta . yang kurang lebihnya begini.

“Apakah yang kita perlukan ketika mau memasukan naskah kita ke media, apakah kita langsung saja mengirim karya kita? Atau melihat dulu karakteristik media tersebut?”

Beliau menjawab dengan cukup santai dan sederhana.
“Apa yang kira-kira kita lakukan ketika memasuki restoran untuk makan, apakah langsung pesan makanannya atau melihat menunya terlebih dahulu?”
Dengan jawaban yang sederhana namun tepat, membuat si penannya manggut-manggut seolah menemukan jawabannya sendiri. So, tentunya kita harus melihat menunnya dan memilih menu mana yang akan kita pesan.

Begitulah analogi sederhana tentang pentingnya pemetaan media. Sebagai penulis pemula seperti kita tentunya itu merupakan suatu hal yang penting agar bidikkan kita bisa tepat ke media mana kira-kira karya kita akan kita coba kirimkan. Bahkan beliau menyarankan agar kita melakukan eksperimen di media manapun. Agar kita lihai untuk memilih ke media mana kira-kira karya kita cocoknya.

Ada beberapa contoh Media dan karakteristiknya. (yang di tulis Oleh Asa Mulchias di Modul FLP Jakarta)

Majalah Ummi . Cerita ibu-ibu? Ya, itu Betul. Tidak neko-neko. Real kehidupan rumah tangga saja. Hal-hal kecil, tapi berarti buat kehidupan. Bisa pula tentang suami, anak, perselingkuhan, perceraian, pencariaan jodoh. Namun lekat dengan nuansa islami.

Majalah Bobo. Khas anak-anak. Bahasa tidak memiliki anak kalimat; sebisa mungkin, satu kalimat titik, satu kalimat titik. Hindari pemakaian koma yang berlebihan dalam satu lkalimat. Penyampaian cerita sederhana. Cerita berjalan “cepat”. Bobo juga seringmenyajikan kisah tentang cara mengatasi permasalahan dengan manis dan tanpa menghakimi yang berbuat salah—malah mengajak kejalan yang baik tanpa menggurui. Ada pula kisah tentang bagaimana kejahatan membawa dirinya sendiri kejalan keburukan.

Majalah Horison. Majalah ini Sastra abis, bisa dibilang. Diksi yang digunakan di dalamnya pilihan begitu pula metafor dan gayannya sangat khas.Tidak gaul, serius, cinderung menyampaikan makna yang berlapis-lapis. Penulisnya sering membiarkan sendiri pembacanya mencaari makna di balik cerita yang di buatnnya. Penuturannya harus “sabar”, dalam, “aneh”, suka menampilkan lebih banyak narasi dan deskripsi ketimbang dialog. Tampil di majalah ini adalah mimpi banyak sastrawan muda. Genre-nya nyaris sama dengan koran minggu kompas.

Koran. Secara umum, korann biasanya menampilkan tulisan yang bersentuhan dengan realita masyarakat. Koran di baca orang umum—secara umum. Jangan sajikan kisah-kisah spesifik, pada usia, golongan, agama. Sentuhlah hal-hal dasar; harga minyak naik, rumah kontrakan yang banyak semutnya. Dll—khas permasalahan masyarakat. Koran dan majalah juga tergantung momentum. Be kontemporer.
Dll ...

Akan lebih bijak lagi adalah kita tidak harus, tergantung dengan keterangan yang tadi. Proses menulis dan pengiriman karya adalah rangkaian pembelajaran yang sulit di ungkapkan dengan kata-kata. Kita harus mengalaminya sendiri. Selamat berjuang!

Lantas saran berikutnya adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan segala sesuatu, yang kita dengar, kita lihat, kita alami menjadi bahan tulisan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar